Intergrasi Dan Disintegrasi
Dalam sebuah kelompok masyarakat terjadi penyesuaian-penyesuaian akan menimbulkan integrasi sosial dan disintegrasi sosial. Integrasi sosial akan terjadi jika ditemukannya sistem nilai dan sistem norma yang baru yang menjadi landasan dalam menjalankan aktivitas sosial, sedangkan disintegrasi sosial akan terjadi jika dari proses penyesuaian-penyesuaian tersebut berkembang permasalahan-permasalahan baru sebagai akibat dari kegagalan dalam melaksanakan upaya penyesuaian terhadap sistem nilai dan sistem norma yang baru tersebut, permasalahan tersebut meliputi:
1. Integrasi
Proses integrasi atau penyatuan sosial terjadi jika perubahan sosial itu membawa unsur - unsur yang cocok dengan nilai dan norma yang berlaku di masyarakat. Penambahan unsur - unsur baru di dalam proses perubahan itu menyatu di dalam kerangka kepentingan struktur
sosial yang ada. Sikap yang diambil oleh anggota masyarakat dan struktur sosial yang ada adalah sikap adopsi atau menerima unsur baru sebagai bagian dari sistem yang sudah ada. Bahkan, dalam beberapa kasus dapat terjadi bahwa unsur baru tersebut justru menghidupkan atau memberi kekuatan baru bagi berkembangnya unsur yang sudah ada atau disebut revitalisasi.
Ada beberapa kelompok sosial misalnya, yang secara positif menerima kegiatan pariwisata karena dapat menghidupkan kembali kebudayaan tradisional yang hampir punah akibat adanya kegiatan pariwisata tersebut. Proses integrasi dapat terjadi pula melalui cara interseksi berbagai struktur sosial yang berbeda dalam satu kesatuan sosial. Perubahan sosial tidak selamanya membawa pengaruh pada pemisahan hubungan sosial tetapi bisa jadi sebaliknya dapat memperumit keterkaitan hubungan antara kelompok-kelompok yang ada.
2. Disintegrasi
Kegagalan suatu masyarakat dalam melakukan langkah penyesuaian dapat menimbulkan disintegrasi dalam kehidupan masyarakat tersebut. Disintegrasi yang dimaksud dapat berwujud dalam berbagai bentuk, seperti pemberontakan, demonstrasi, kriminalitas, kenakalan remaja, prostitusi, dan lain sebagainya.
a. Pergolakan di daerah
Negara-negara yang memiliki wilayah kekuasaan yang luas dengan jumlah penduduk yang majemuk seperti Indonesia, Uni Sovyet (sekarang Rusia), Yugoslavia, India, Srilanka, Irlandia, India, Afganistan, dan sebagainya pernah memiliki pengalaman akan adanya pergolakan di daerah kekuasaannya. Seperti yang kita ketahui bersama, bahwa Uni Sovyet kini telah hancur akibat glasnost dan perestroika. Bahkan, beberapa bekas wilayah Uni Sovyet, seperti Tajikistan, Turkmenistan, dan Kazakhstan kini telah merdeka sebagai negara yang berdaulat. Sementara itu, Rusia sampai saat ini belum berhasil menuntaskan pemberontakan warga muslim Chechnya. Beberapa wilayah di semenanjung Balkan kini telah berhasil memerdekakan diri dari Yugoslavia. Srilanka sampai saat ini masih disibukkan oleh pemberontakan Macan Tamil. India dan Pakistan masih dalam sengketa memperdebatkankan wilayah kashmir yang mayoritas berpenduduk muslim. Masih banyak lagi kejadian-kejadian serupa yang menimpa berbagai negara di dunia.
Indonesia, dengan wilayah yang sangat luas dan terdiri atas ribuan pulau, dengan kondisi penduduk yang sangat majemuk sudah barang tentu tidak dapat lepas dari problem pergolakan di daerah. Pergolakan-pergolakan yang terjadi di beberapa wilayah, seperti di Aceh dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM)-nya, di Irianjaya (sekarang Papua) dengan Organisasi Papua Merdeka (OPM)-nya, di Maluku dengan Republik Maluku Selatan (RMS)-nya, pada dasarnya merupakan kelanjutan dari pergolakan yang telah terjadi sejak zaman Orde Lama.
Seperti yang diketahui bahwa sejak proklamasi kemerdekaan negara Republik Indonesia sampai sekarang terdapat beberapa pergolakan yang terjadi di beberapa daerah di Indonesia, di antaranya adalah sebagai berikut:
1. Pemberontakan PKI-Madiun
Pemberontakan PKI-Madiun yang dipimpin oleh Moeso, Amir Syarifuddin, dan beberapa tokoh PKI lainnya ditandai dengan diproklamasikannya Negara Sovyet Republik Indonesia di Madiun pada tanggal 18 September 1948. Pemberontakan PKI-Madiun lebih didorong oleh keinginan segelintir orang Indonesia yang berhaluan sosialis-komunis untuk mendirikan negara yang berdasarkan atas ideologi komunis. Dalam waktu 12 hari, pemberontakan PKI-Madiun berhasil ditumpas oleh Tentara Nasional Indonesia (TNI).
2. Gerakan DI/TII
Selain karena adanya perbedaan ideologis, yakni ingin mendirikan negara Indonesia yang berdasarkan atas ajaran agama Islam, gerakan DI/TII juga dipicu oleh kekecewaan terhadap isi perjanjian Renville yang dipandang sangat merugikan pihak RI. Sebagaimana yang diketahui, pasukan Hisbullah dan Sabilillah yang dipimpin oleh Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo tidak bersedia meninggalkan wilayah Jawa Barat bersama-sama dengan pasukan Divisi Siliwangi lainnya. Bahkan pada tanggal 7 Agustus 1949, Soekarmadji Maridjan Kartosoewirjo memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang berpusat di Malangbong, Tasikmalaya, Jawa Barat. Pengaruh Gerakan DI/TII meluas di berbagai daerah di Indonesia seperti di daerah Kebumen (Jawa Tengah yang dipimpin oleh Amir Fattah dan Kyai Mohammad Mahfudz Abdurrahman, di Kalimantan Selatan yang dipimpin oleh Ibnu Hadjar, di Sulawesi Selatan yang dipimpin oleh Kahar Muzakar, dan di
Aceh yang dipimpin oleh Daud Beureuh.
3. Pemberontakan Andi Azis
Pemberontakan Andi Azis dilatarbelakangi oleh keinginan untuk mempertahankan kedudukan Negara Indonesia Timur yang dibentuk oleh Belanda. Pemberontakan tersebut dilancarkan sekitar bulan April 1950 melalui perlawanan bersenjata dan sekaligus mengeluarkan pernyataan-pernyataan melalui surat kabar. Adapun isi pernyataan tersebut adalah sebagai berikut: (1) Negara Indonesia Timur (NIT) harus dipertahankan supaya tetap berdiri, (2) pasukan KNIL yang telah masuk APRIS sajalah yang bertanggung jawab atas keamanan daerah NIT, dan 93) Presiden Soekarno dan Perdana Menteri Hatta hendaknya tidak menghalangi tetap berdirinya NIT dengan cara kekerasan.
4. Republik Maluku Selatan (RMS)
Republik Maluku Selatan (RMS) merupakan sebuah negara yang dicita - citakan oleh Dr. Soumokil (bekas Jaksa Agung NIT). Dengan demikian RMS merupakan sebuah gerakan separatis yang ingin memisahkan diri dari wilayah negara kesatuan Republik Indonesia. Gerakan RMS dapat ditumpas oleh pasukan TNI sekitar bulan Desember 1963.
5. Peristiwa PRRI/Permesta
Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) dan Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) merupakan sebuah gerakan separatis yang diawali dengan berdirinya dewan-dewan di berbagai daerah, yakni Dewan Gajah yang berdiri pada tanggal 20 Desember 1956 di Medan dipimpin oleh Letkol M. Simbolon, Dewan Banteng yang berdiri pada tanggal 22 Desember 1956 di Padang dipimpin oleh Letkol Achmad Husein, Dewan Lambung Mangkurat yang didirikan oleh Letkol Vantje Sumual di Kalimantan Selatan. Keberadaan dewan-dewan tersebut diperkuat dengan adanya Perjuangan Rakyat Semesta (Permesta) yang dideklarasikan di Makasar pada tanggal 2 Maret 1957. Dewan-dewan tersebut menjadi cikal bakal diproklamasikannya Pemerintah Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) pada tanggal 17 Pebruari 1958 dengan Mr. Syafrudin Prawiranegara sebagai perdana menterinya. Memperhatikan berbagai pergolakan di berbagai daerah di Indonesia sebagaimana yang disebutkan di atas, Koentjaraningrat menyebutkan adanya beberapa sebab, yaitu: (1) terjadinya masa transisi dari Republik Indonesia Serikat (RIS) menuju Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) pada tahun 1951, (2) adanya demobilisasi kelompok-kelompok gerilya Indonesia dan adanya bekas-bekas tentara Belanda (KNIL), (3) adanya revolusi yang dilakukan untuk menggantikan ideologi Pancasila, seperti Pemberontakan PKI-Madiun dan DI/TII, dan (4) terlalu tersentralisasinya perekonomian Indonesia selama sepuluh tahun pertama sejak Indonesia merdeka.
b. Demonstrasi
Berbagai media massa belakangan ini sering menayangkan aksi demonstrasi. Pada dasarnya demonstrasi merupakan kegiatan unjuk rasa dari sekelompok orang yang terorganisir untuk menyatakan ketidakpuasan atau kekecewaan terhadap kebijakan suatu pimpinan atau suatu rezim pemerintahan, baik kebijakan yang telah maupun yang sedang dilaksanakan. Lazimnya, demonstrasi dilaksanakan oleh sekelompok orang yang beranggapan bahwa di dalam kehidupan masyarakat terdapat kesenjangan antara sesuatu yang diinginkan dengan kenyataan yang terjadi, baik yang menyangkut bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, agama, pendidikan, dan lain sebagainya.
Demonstrasi merupakan suatu cara yang ditempuh oleh masyarakat untuk menyampaikan aspirasi dan tuntutan tertentu. Demonstrasi tersebut dilaksanakan manakala masyarakat tidak memiliki cara lain untuk mencari solusi dari permasalahan yang berkembang melainkan melalui demonstrasi. Misalnya, berbagai musyawarah yang ditempuh hanya menemui jalan buntu. Perlu diketahui bahwa demonstrasi tidak sama artinya dengan perbuatan vandalisme, anarkhisme, atau brutalisme. Penyampaian tuntutan dan aspirasi dalam demonstrasi dilaksanakan dengan menggunakan berbagai cara seperti meneriakkan yel-yel, membuat poster-poster, pembacaan puisi, menyanyikan lagu-lagu tertentu, membuat slogan-slogan, membuat pernyataan tertulis, dan lain sebagainya. Namun, demonstrasi akan berubah menjadi vandalisme, anarkhisme, dan brutalisme mana kala para demonstran mulai meneriakkan sumpah serapah yang berupa umpatan-umpatan atau caci maki yang memancing emosi massa, baik masyarakat umum maupun petugas keamanan.
Demonstrasi memang memiliki dampak positif, yakni merupakan suatu bentuk tekanan (pressure) dan sekaligus merupakan suatu alat pengendali sosial (Sosial control) yang efektif. Namun demikian, selama masih ada cara lain yang dapat ditempuh, sedapat mungkin aksi demonstrasi dihindari. Sikap tersebut diperlukan mengingat aksi demonstrasi yang mengerahkan kekuatan massa sering menciptakan gangguan-gangguan dalam kehidupan masyarakat, seperti kemacetan lalu lintas, kebisingan, polusi suara, dan lain sebagainya. Demonstrasi juga dapat menimbulkan keretakan dalam hubungan-hubungan sosial, terutama antara pihak demonstran dengan pihak yang didemo sebagai akibat dari sikap pro dan kontra yang berkembang antara kedua belah pihak.
Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, bangsa Indonesia tidak terlepas dari aksi demonstrasi. Aksi-aksi demonstrasi tersebut dapat diperhatikan antara lain: (1) pada periode tahun 60-an, yakni ketika rakyat dan mahasiswa melancarkan aksi Tritura, (2) pada periode tahun 80-an, yakni ketika sebagian masyarakat Indonesia melancarkan aksi penolakan terhadap masuknya produk-produk asing, dan (3) aksi-aksi yang dilancarkan oleh masyarakat
Indonesia sepanjang pertengahan tahun 1999 sampai sekarang untuk menuntut penyelenggaraan pemerintahan negara yang bersih dan bertanggung jawab. Aksi-aksi lainnya seperti aksi kaum buruh kepada majikannya, aksi masyarakat kepada kinerja dewan yang dianggap tidak memuaskan, dan lain sebagainya.
c. Kriminalitas
Kriminalitas merupakan perilaku kejahatan yang terjadi dan sekaligus sangat meresahkan kehidupan masyarakat. Banyak sekali faktor yang mendorong terjadinya kriminalitas atau kejahatan sosial. Dalam hal ini, E.H. Sutherland berpandangan bahwa kriminalitas atau kejahatan merupakan hasil dari proses-proses dalam kehidupan masyarakat seperti imitasi, identifikasi, pembentukan konsep diri (self-conception), pelaksanaan peranan sosial, asosiasi diferensial, maupun kekecewaan-kekecewaan yang agresif. Dengan demikian kriminalitas atau kejahatan terjadi sebagai hasil dari interaksi seseorang atau sekelompok orang dengan seseorang atau sekelompok orang yang berperilaku menyimpang. Pemicu kriminalitas atau kejahatan sosial adalah adanya tekanan-tekanan mental, baik yang bersifat ekonomi maupun sosial yang memberikan beban psikologis yang berat.
Dari sekian banyak bentuk kriminalitas yang ada, white-collar crime (kejahatan kerah putih) yakni aksi-aksi kejahatan yang dilakukan oleh para penguasa maupun para pengusaha ketika menjalankan peran sosialnya. Sesuai dengan status sosial yang disandang, para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) merupakan orang yang memegang posisi dan kedudukan yang sangat kuat, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik. Para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) tersebut seolah-olah tidak takut terhadap hukum karena hukum dapat dibeli dengan uang dan kekuasaan yang dimilikinya.
Berbeda dengan para pelaku kejahatan lain yang pada umumnya tertekan secara ekonomi, para pelaku white-collar crime (kejahatan kerah putih) pada umumnya memiliki latar belakang ekonomi yang mapan. Keadaan tersebut memungkinkan terjadinya sikap pemanjaan dalam pola asuh sehingga berkembang pribadi yang sulit mengendalikan keinginan sehubungan dengan lemahnya prinsip moral yang diajarkan. Bentuk-bentuk white-collar crime (kejahatan kerah putih) adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Kejahatan - kejahatan serupa itulah yang saat ini sedang melanda kehidupan bangsa Indonesia.
d. Kenakalan Remaja
Dalam kehidupan bermasyarakat terlihat bahwa kenakalan remaja dapat terjadi di kalangan masyarakat kaya maupun di kalangan masyarakat miskin. Kenakalan remaja juga dapat terjadi dalam kehidupan masyarakat pedesaan maupun dalam kehidupan masyarakat perkotaan. Pada umumnya kenakalan remaja tersebut dapat terjadi karena beberapa hal, seperti: (1) penanaman sistem nilai dan sistem norma (sense of value) yang lemah, (2) berkembangnya organisasi-organisasi nonformal yang berperilaku menyimpang sehingga tidak diinginkan dalam kehidupan masyarakat, dan (3) adanya keinginan untuk mengubah keadaan disesuaikan dengan perkembangan-perkembangan baru (youth values). Secara psikologis usia remaja merupakan usia di mana para remaja sedang mencari identitas diri. Dengan demikian, secara kejiwaan para remaja berada dalam kondisi yang labil, dalam arti, para remaja belum menemukan jati diri kepribadiannya secara mantap. Di sinilah arti penting pendidikan sebagai usaha untuk membimbing manusia menuju kedewasaan, yakni menuju penemuan jati diri sebagai manusia. Menurut pengamatan, pada masyarakat pedesaan, terutama yang terjadi pada keluarga-keluarga miskin, kenakalan remaja yang terjadi setidaknya disebabkan oleh tiga faktor, yaitu: (1) keberhasilan pemerintah dalam pembangunan telah membawa konsekuensi logis pada derasnya arus informasi, baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri, baik yang bersifat konstruktif maupun yang bersifat destruktif, sedangkan para remaja belum memiliki kepribadian yang mantap, (2) kondisi keluarga yang serba kekurangan telah mendorong para remaja untuk mencari kegiatan-kegiatan alternatif yang dianggap mengasyikkan tetapi sekaligus sangat menjerumuskan kepribadian mereka., dan (3) banyaknya keluarga-keluarga pedesaan yang merantau ke perkotaan (urbanisasi) sehingga membawa konsekuensi logis pada kurangnya pengawasan dan sekaligus kurangnya pendidikan yang diselenggarakan di lingkungan keluarga. Adapun kenakalan remaja yang terjadi pada masyarakat perkotaan, terutama pada keluarga - keluarga kaya, persoalannya terletak pada kesibukan orang tua yang terlalu bersemangat dalam meniti karier, baik dalam organisasi, pekerjaan, maupun bisnis sehingga kurang ada kesempatan untuk memperhatikan perkembangan anak-anak mereka. Kondisi keluarga seperti itu pada umumnya memberikan kepuasan secara material kepada anak-anak mereka, sedangkan kenyamanan psikologis tidak diberikan secara layak. Keadaan seperti inilah yang menyebabkan para remaja di perkotaan mengalami kejenuhan sehingga mencari pelampiasan untuk membunuh rasa jenuh dengan menggunakan segala macam fasilitas material yang diberikan oleh orang tua mereka. Bentuk-bentuk kenakalan remaja pada umumnya berbentuk perkumpulan-perkumpulan remaja yang suka bikin onar yang berupa cross-boy / cross-girl. Adapun beberapa kegiatan yang terjadi sehubungan dengan kenakalan remaja tersebut di antaranya adalah pencurian, pencopetan, penganiayaan, penodongan, pornografi yang dilanjutkan dengan perbuatan asusila, penyalahgunaan obat-obatan terlarang, pelanggaran tata tertib lalu lintas, dan lain sebagainya.
e. Prostitusi
Istilah prostitusi, atau lebih populer dengan istilah pelacuran, merupakan suatu kegiatan yang dilakukan oleh seseorang dengan cara menawarkan dirinya kepada masyarakat umum untuk melakukan aktivitas seksual di luar nikah dengan imbalan berupa upah sesuai dengan kesepakatan yang dibuat. Prostitusi atau pelacuran merupakan salah satu bentuk perbuatan asusila karena berlawanan dengan norma agama, norma hukum, dan norma adat. Namun demikian, tidak sedikit masyarakat, baik yang berasal dari keluarga kaya maupun dari kalangan keluarga miskin, yang terjerumus dalam kegiatan asusila tersebut. Sehubungan dengan masalah tersebut, Soerjono Soekanto memberikan penjelasan adanya dua hal yang menyebabkan terjadinya prostitusi dalam kehidupan masyarakat, yaitu:
1. Faktor internal, yakni faktor-faktor yang berasal dari dalam diri pelaku prostitusi (pelacur) tersebut, seperti dorongan seksual yang tinggi, sifat malas untuk bekerja, dan keinginan untuk menikmati kemewahan dunia (hedonisme), dan lain sebagainya.
2. Faktor eksternal, yakni faktor-faktor yang berasal dari luar diri pelaku prostitusi (pelacur) tersebut, seperti kondisi ekonomi yang memprihatinkan, kondisi perumahan yang tidak memenuhi syarat, kegiatan urbanisasi yang tidak terkendali, dan lain sebagainya.
Dewasa ini prostitusi (pelacuran) berkembang menjadi masalah nasional. Bahkan, di berbagai daerah, seperti di kota Surabaya, Jakarta, Bandung, dan lain sebagainya para pelaku prostitusi (pelacur) telah mengorganisasikan kelompok mereka untuk melakukan aksi demonstrasi menentang peraturan-peraturan yang sengaja diciptakan untuk menertibkan kehidupan mereka. Dengan demikian, para pelaku asusila tersebut secara terang-terangan minta keberadaan mereka diakui secara syah oleh pemerintah. Keadaan tersebut merupakan suatu ironi dan sekaligus merupakan masalah kemanusiaan yang harus mendapat perhatian sebagaimana mestinya.